Kisah Oplet di Garut Tahun 70-an, Jadi Angkutan Andalan Sejuta Kenangan

Banyak di antara mereka yang duduk berjajal di kendaraan bermerek Chevrolet itu sambil bercengkrama dan menikmati perjalanan. Di sepanjang jalan juga ditampilkan suasana pedesaan di tatar Sunda, termasuk saat Oplet dikerumuni para pedagang yang menawarkan dagangannya dari balik jendela.

Dari video itu, tak sedikit warganet yang membanjiri kolom komentar dan ikut merasakan kenangan dari kendaraan tersebut. Melansir Youtube Amemoar (23/09), berikut cuplikan kisahnya.

Menjadi Transportasi Andalan

Dalam video berbahasa Inggris itu, kendaraan Oplet digambarkan sebagai transportasi yang menjadi andalan bagi masyarakat pedesaan untuk menjual dagangannya ke wilayah pusat kota.

Hal itu bisa dilihat dari percakapan si pembuat video dengan orang di dalam Oplet yang mengatakan jika banyak warga pedesaan yang menaiki kendaraan tersebut untuk menjual apa yang mereka punya.

Suasana jalanan yang lenggang, dengan masih banyaknya delman menjadi pemandangan yang unik dan amat langka di masa sekarang.

"Mereka akan menaiki Oplet sejauh 40 kilometer ke kota, untuk menjual barang yang dibawa dari desa ke wilayah kota" sebut salah satu orang di Oplet tersebut.

Oplet Tak Kuat Menanjak dan Didorong Ramai-ramai Penumpang

Dari dalam Oplet terlihat suasana kebersamaan saat transportasi mirip angkot itu mengalami kerusakan ketika menanjak di jalan pedesaan kawasan Garut – Bandung yang terbilang terjal di masa itu.

Terlihat hampir seluruh penumpang turun, dan membantu mendorong kendaraan Oplet ketika berhenti di tanjakan. Sebelumnya sang sopir dan asisten yang masih berusia anak-anak telah mengecek mesin di kap depan, dan membuka bagian karburator.

Bahkan Oplet juga harus diganjal oleh batu besar saat menanjak di kawasan tersebut, agar tidak mundur karena tak kuat menahan beban penumpang.

Dikerumuni Pedagang Makanan Saat Oplet Berhenti

Turut ditampilkan suasana keriuhan dari pedagang kaki lima di kawasan tersebut saat menghampiri Oplet yang tengah berhenti.

Para pedagang itu terlihat antusias berlarian, dengan silih berganti menawarkan dagangannya ke para penumpang melalui jendela. Beberapa penjual juga terlihat menawarkan beberapa makanan tradisional seperti kacang, lepet hingga gorengan.

Usai para penumpang membeli dagangan, dan para penjual satu persatu meninggalkan Oplet. Kendaraan berwarna biru muda dengan balutan cat putih itu kembali dinyalakan dengan cara diengkol di bagian depan. Diengkol yang dimaksud adalah menyalakan mesin, dengan menggunakan pipa besi dan memutarnya hingga mesin menyala.

Menyisakan Kenangan di Kalangan Warganet

Di kolom komentar, banyak dari kalangan warganet yang turut merasakan kejayaan dari kendaraan Oplet tersebut.

Tak jarang, netizen juga ikut mengagumi kondisi orang-orang yang berada di dalam video documenter yang versi aslinya yang merupakan seri dari National Film Board berjudul “Wet Earth Warm People”

"Kesederhanaan, guyub rukun, bersahaja, itu yg ada dlm video ini, aku masih mengalami zaman oplete ini di Talang Padang lam sel" beber Agil Lembah Tidar

"Huhuhu.... Inget waktu kecil naik oplet ke Bandung dan garut rasanya rindu ingin kembali ke masa lalu sekarang sudah 2020 umurku sudah 55 tahun betapa cepat rasanya waktu berlalu semoga selalu diberikan kesehatan dan keselamatan aamiin..." tulis akun Edi Sobari

"Orang2 zaman dulu yg masih lugu, suasananya sangat damai, indah dan bersahaja. Salut yg punya videonya,bagus, keren masih terdokumentasikan hingga sekarang. Sy senang nontonnya" kata Aje Urban

"Ini jalan yg sering sy lalui saat dr kampung di Garut ke Bandung.. dan ini video 49 tahun yang lalu." Tulis Ti Dapur

"Mengingatkanku akan masa tahun 70-an, kala itu harus naik opelet dijalanan berbatu dari Senduro-Kayuenak.....seru habis pokoknya" ujar Bogond Channel

"Tahun 90 msh sempat lihat mobil seperti ini ..buat bawa sayuran.. pulang dari pasar..engkol dulu sblm jln..memorii indah." Kenang Winardi Adi

"Aku mengalami naik kendaraan seperni ini th 50 60 an trimasih atas upload kenangan masa2 kecil kami" kata Murtadho Ahmad.

Penulis: Nurul Diva Kautsar

Sumber: Merdeka.com