Otosia.com, Jakarta Elektrifikasi kendaraan sebenarnya bukan hal baru untuk beberapa negara selain Indonesia. Misalnya saja China atau negara-negara kawasan Benua Eropa yang sudah lebih dulu banyak menggunakan mobil listrik, baik BEV, PHEV, maupun Hybrid.
Mobil hybrid merupakan tipe yang paling dekat dengan kendaraan konvensional, karena ia masih memakai mesin kombusi untuk bergerak dan saling support dengan motor elektrik. Makanya, mobil hybrid masih memanfaatkan busi untuk proses kombusi pada umumnya.
Sekian waktu berjalan, mobil tipe hybrid makin menjamur di Indonesia. Sudah ada beberapa nama yang cukup mahsyur terdengar contohnya Toyota Corolla Cross Hybrid, Nissan Kicks Hybrid, Suzuki Ertiga Hybrid, Wuling Almaz Hybrid sampai yang terbaru Toyota Kijang Innova Hybrid.
Yang menarik, apakah kemudian penggunaan busi untuk kendaraan hybrid versi Indonesia ini sama saja dengan merek-merek dari luar negeri?
Video Populer yang Kamu Cari
powered by
Beda Negara, Beda Regulasi
Diko Oktaviano, Technical Support PT NGK Busi Indonesia menerangkan bila perbedaan tipe busi pada mobil itu sebenarnya tidak cuma menjangkiti tipe hybrid. Malah hampir semua model kendaraan.
“Sebenarnya bukan hybrid saja, tipe busi mesin apa pun di tempat lain beda. Indonesia dengan Amerika dengan mesin yang sama, businya beda,” terang Diko.
Ia menyebutkan ada banyak faktor yang menyebabkan busi-busi itu berbeda untuk tiap mobil bahkan sampai tiap negara. Masing-masing negara memiliki regulasi tersendiri dalam menentukan kendaraan yang menurut mereka sesuai dengan wilayahnya, contohnya terkait emisi gas buang dan bahan bakar yang dipakai.
“Pengaruhnya iklim, konsumsi bahan bakar mereka, terus kemudian sama regulasi. Indonesia ini paling longgar. Bukan Indonesia doang, mungkin ASEAN. Kalau di negara lain ketat. Ignis di Indonesia dengan Ignis di Jepang beda,” lanjut dia.
Mengapa iklim bisa memengaruhi penggunaan busi? Inti persoalannya memang pada cuaca yang mau enggak mau pasti berimbas pada mesin. Contohnya di belahan dunia tertentu punya iklim ekstrem seperti bersalju atau sangat panas. Sedangkan di Indonesia tropis yang artinya sedang-sedang saja.
“Terus iklim itu memengaruhi heat range. Mereka bersalju, kita panas. Kita butuh yang 6 aja sudah cukup. Mereka butuh 8 atau 9,” ujarnya.
Standarisasi
Selain itu, ada faktor lain contohnya seberapa ketat suatu negara menerapkan standarisasi EURO. Semakin longgar seperti di Indonesia, busi yang dipakai lebih beragam dengan takaran harga yang gampang dipilih. Mau dari yang murah sampai mahal, dengan material nikel atau logam mulia semua tersedia.
Berbeda dengan negara yang ketat soal regulasi itu. Misalnya demi menjaga lingkungan, mereka menerapkan EURO ketat yang rendah emisi sehingga tiap kendaraan harus minimal memakai busi logam mulia. Jadi nyaris tidak akan ada busi nikel yang beredar di pasaran.
“Biasanya, di luar negeri sudah mengadopsi standar EURO ketat. Otomatis yang dipakai logam mulia. Jadi yang masih pakai nikel itu mayoritas masih ada di ASEAN dan Amerika. Jadi berbahagialah kita masih bisa pakai busi yang murah. Kalau di luar negeri udah hampir enggak ada nikel," tutupnya.