Otosia.com, Jakarta Di era elektrifikasi, banyak negara mulai memberi target untuk mencapai karbon netral. Sebagai contoh Eropa mewajibkan mobil baru yang diproduksi setelah tahun 2035 harus berbasis listrik murni.
Begitu juga dengan Indonesia yang menetapkan bahwa pada tahun 2040 setiap merek mobil dilarang menjual mobil dengan mesin pembakaran internal, wajib berupa Battery Electric Vehicle (BEV).
Baca Juga
Meski banyak merek mobil yang mendukung peraturan ini, Toyota berargumen bahwa peralihan ke EV murni justru berdampak buruk terhadap lingkungan.
Video Terpopuler yang Kamu Cari
powered by
Pernyataan CEO
Konsep mobil BEV bukan menjadi solusi utama untuk mengurangi emisi karbon secara global sudah menjadi panutan utama Toyota dalam waktu yang cukup panjang.
Akio Toyoda, Mantan President dan Chief Executive Officer (CEO) of Toyota, beberapa kali menegaskan bahwa musuh utama emisi gas buang adalah zat karbon dioksida. Oleh sebab itu, melalui konsep multi-pathway, Toyota juga menghadirkan sarana lainnya, mulai dari mesin hybrid hingga hidrogen.
“Untuk mencapai netralitas karbon, kita perlu ingat bahwa musuh utamanya adalah karbon dioksida, bukan macam mesin atau sumber tenaga yang digunakan. Alhasil, BEV bukan menjadi satu-satunya solusi untuk mengurangi emisi,” imbuh Akio, seperti dikutip, dari situs Toyota Thailand, Kamis (2/2/2023).
Bahan baku menipis
Meski Akio Toyoda sudah lengser, merek asal Jepang itu terus bergantung pada konsep yang sama.
Melansir carscoops.com, Gill Pratt sebagai Chief Scientist of Toyota Motor Corporation dan CEO of Toyota Research Institute, berargumen gas emisi karbon secara global bisa menurun melalui sarana sumber daya lain.
Ia menjelaskan bahwa ada dua faktor yang membuat produksi listrik kedepannya menjadi kurang ideal. Gill memprediksi dalam waktu dekat suplai Lithium dan bahan mineral lainnya untuk produksi baterai akan menurun.
Berikutnya adalah masih belum banyaknya tempat pengecasan membuat memiliki mobil listrik murni menjadi kurang ideal.
Hybrid paling ideal
Dengan argument tersebut, Gill menyebut bahwa bahan baku lithium dan mineral lainnya lebih ideal untuk digunakan dalam memproduksi mobil hybrid.
Sebagai contoh 100 mobil dengan mesin pembakaran internal bisa memproduksi emisi karbon sebanyak 250g/km.
Jika bahan baku lithium tersebut digunakan untuk memproduksi baterai berkapasitas 100 kWh, maka hanya satu model termahal Tesla Long Range yang bisa diproduksi. 99 mobil sisanya masih menggunakan mesin bensin dan jumlah emisi hanya menurun menjadi 248.5 g/km.
Sementara apabila baterai 100 kWh tersebut didistribusikan ke-90 mobil hybrid, menyisakan 10 mobil dengan mesin konvensional, rata-rata kadar emisi karbon bisa menurun menjadi 205 g/km.
Tetap tegas
Toyota bukan berarti tidak tertarik terhadap BEV sama sekali. Merek ini sudah memperkenalkan bz4x secara global dan beberapa mobil listrik lainnya, seperti bz3 di Tiongkok dan Hilux BEV di Thailand.
Namun demikian mereka percaya bahwa brand mobil pesaingnya, seperti Honda, Cadillac, hingga Volvo, membuat kesalahan untuk berinvestasi besar-besaran terhadap mobil listrik murni.
“Akan ada kekurangan (suplai). Waktu ada di sisi kita. Banyaknya pengurangan suplai, baik untuk bahan baku baterai hingga tempat pengecasan, akan terlihat jelas bahwa satu tipe mobil (EV) bukanlah jawaban utama. Jawaban paling benar adalah campuran dari berbagai macam kendaraan ramah lingkungan,” kata Gill Pratt, dikutip dari situs Automotive News.